^^

Bersabarlah, kau hanya sedang berada dalam fase mencintai seseorang yang salah, sehingga kau merasa terluka yang cukup melemahkanmu.

Lihat saja, ketika esok kau telah belajar dari kesalahan, kau akan menemukan fase dimana betapa baiknya Tuhan padamu, mengatur semuanya dengan sebegitu baik, ketika kau menemukan dia yang terbaik dari yang maha baik, untuk kamu yang belajar untuk menjadi lebih baik.

Senin, 23 Maret 2015

Kenapa Harus Kamu??

Kenapa harus kamu?
Yang menghadirkan tanda tanya dan bisu yang menyeringai santai
Kenapa harus kamu?
Yang tiba-tiba datang lalu menyelonong masuk ke dalam pintu hatiku
Apakah tak ada orang lain selain kamu?
Yang bisa membuatku jatuh cinta hingga merasakan luka

Aku masih tak tahu dan tak mengerti
Kenapa harus kamu?
Yang mengisyaratkan hati untuk menyimpan perasaan ini
Kenapa harus kamu?
Yang mampu memaksa otakku agar tak berhenti memikirkanmu

Kenapa harus kita?
Kenapa bukan mereka?
Kenapa aku bertanya?
Kenapa kautak pernah menjawab?
Kenapa kau tak pernah memberiku isyarat?

Aku telah melawan rasa takutku
Hanya untuk mencintaimu
Lalu, kenapa harus kamu?
Yang mampu mengubah rasa takutku menjadi sebuah keberanian kecil
Mengubah badanku yang menggigil menjadi senyum tipis walau secuil

Jangan biarkan aku terus bertanya, Sayang
Jangan biarkan aku terus mencari hal yang sebenarnya tak ada
Jangan biarkan aku terus merasakan perasaan yang sebenarnya tak kaurasakan
Jangan biarkan aku terus menunggu
Jangan biarkan waktuku terus terbuang
hanya karena kamu yang sulit kulupakan

Kenapa harus kamu?
Yang mampu membuatku melamun sepanjang waktu
Kenapa harus kamu?
Yang menjadi sebab air mataku terjatuh

Jakarta, 2403201513:24

Sepertinya Aku Mencintaimu

Awalnya, matamu dan senyummu tak berarti apa-apa bagiku. Sapa lembutmu, tutur katamu, bukan menjadi alasan senyumku setiap harinya. Semua mengalir begitu saja, kita tertawa bersama, kita menghabiskan waktu bersama, tanpa tahu bahwa cinta diam-diam menyergap dan menyeringai santai dibalik punggungmu dan punggungku. Kita saling bercanda, menertawakan diri sendiri, tanpa tahu bahwa rasa itu menelusup tanpa ragu dan mulai mengisi labirin-labirin hatimu dan hatiku yang telah lama tak diisi oleh seseorang yang spesial.
Tatapan matamu, mulai menjadi hal yang tak biasa di mataku. Caramu mengungkapkan pendapat, tak lagi menjadi hal yang kuhadapi dengan begitu santai. Renyah suara tawamu menghipnotis bibirku untuk melengkungkan senyum manis, menyambut lekuk bibirmu yang tersenyum saat menatapku. Aku tahu semua berubah menjadi begitu indah, sejak pembicaraan yang sederhana menjadi pembicaraan spesial yang begitu menyenangkan bagiku. Aku bertanya ragu, inikah kamu yang tiba-tiba mengubah segalanya jadi merah jambu?

Tanpa kusadari, namamu sering kuselipkan dalam baris-baris doa. Diam-diam aku senang menulis tentangmu, tersenyum tanpa sebab sambil terus menjentikkan jemariku. Tanpa kesengajaan, kauhadir dalam mimpiku, memelukku dengan erat dan hangat, sesuatu yang belum tentu kutemukan dalam dunia nyata saat aku terbangun nanti. Hari-hariku kini terisi oleh hadirmu, laju otakku kini tak mau berhenti memikirkanmu, aliran darahku menggelembungkan namamu dalam setiap tetes hemoglobinnya. Berlebihan kah? Bukankah mahluk Tuhan selalu bertingkah berlebihan ketika sedang jatuh cinta?

Saat menatap matamu, ada kata-kata yang sulit keluar dari bibirku. Saat mendengar sapa manjamu, tercipta rasa yang begitu lemah untuk kutunjukkan walaupun aku sedang berada bersamamu. Aku diam, saat menatap matamu apalagi mendengar suaramu. Aku membiarkan diriku jatuh dalam rindu yang mengekang dan membuatku sekarat. Aku membiarkan diriku tersiksa oleh angan yang kauciptakan dalam magisnya kehadiranmu. Astaga Tuhan, ciptaanMu yang satu ini membuatku pusing tujuh keliling!

Setiap malam, ketika dingin menyergap tubuhku, aku malah membayangkanmu, bagaimana jika kamu memelukku? Bagaimana jika ini? Bagimana jika itu? Ah, selain indah ternyata kamu juga pandai menganggu pikiran seseorang, sehingga otakku hanya berisi kamu, kamu, dan kamu dalam berbagai bentuk!

Sepertinya aku mencintaimu…


Pada setiap percakapan kecil yang berubah menjadi perhatian sederhana yang kauperlihatkan padaku.

Sepertinya aku mencintaimu…

Dengan kebisuan yang kausampaikan padaku. Kita hanya berbicara lewat tatapan mata, kita hanya saling mengungkapkan lewat sentuhan-sentuhan kecil.

Sepertinya aku mencintaimu…

Karena aku sering merindukanmu, karena aku bahkan tak tahu mengapa aku begitu menggilaimu

Sepertinya aku mencintaimu…

Kepada kamu, yang masih saja tak mengerti perasaanku.

Kamis, 05 Maret 2015

Seharusnya, aku tidak mencintaimu

Di kamarku yang sepi, sambil mendengarkan rintik hujan malam ini, aku hanya bisa diam dan merenung. Mungkin, aku perempuan paling tolol yang pernah ada, perempuan yang selalu mencintaimu tanpa banyak menuntut dan meminta. Ketika wanita jalang itu mengaku kekasihmu, aku hanya tersenyum sinis dan tertawa. Dalam pikiranku, dialah yang mendekatimu, dialah yang diam-diam masuk dalam hubungan kita, dan dialah yang memurahkan diri untuk melahap habis perhatianmu.

Saat mencintaimu, aku tak ingin percaya pendapat siapapun. Aku tak ingin percaya pada bisikan sahabatku bahwa kamu adalah rubah dengan wajah domba, serigala dengan tatapan kucing manja, dan kelalawar bertaring ompong. Ya, aku tak ingin percaya apa kata mereka, yang aku tahu; kamu mencintaiku dan aku sangat menggilaimu setulus hati.

Kamu menawarkan banyak mimpi padaku, sebagai perempuan yang masih meraba-raba apa itu cinta; aku tak menolak untuk masuk ke dalam dunia khayalmu. Kau tidak memaksaku masuk ke dalam hujan dan badai, kau sediakan pelangimu sendiri, pelangi kita, yang ternyata-- semu.

Aku ingat bagaimana pertemuan awal kita adalah pertemuan terbodoh yang pernah terjadi dalam hidupku. Kaudiam dan aku diam. Kau sebutkan nama dan aku memulai cerita. Kau suguhkan perkenalan dan aku menerima perkenalan itu dengan senyum bahagia. Bahagia. Karena aku sudah mencintaimu bahkan saat pertama kali kamu menyapaku lewat chat kita. Aku sudah memilihmu bahkan sebelum kita bertemu.

Aku ingat bagaimana saat jemarimu menggenggam erat jemariku. Bagaimana mata itu menatap mataku dengan tatapan rindu. Bagaimana senyummu berhasil membuat aku tak ingin jauh dari ponsel, karena tak ingin berhenti menatap fotomu. Bagaimana bibirmu yang selalu terlihat tertawa ketika bersamaku memaksa aku untuk terus menceritakan hal-hal lucu, agar sekali lagi bisa aku rasakan keteduhan yang tak bisa dijelaskan; dari percakapan bodoh kita yang terjalin semalaman.

Enam bulan ini, kamulah satu-satunya, meskipun kamu selalu menuduhku bersama pria yang lain. Beberapa bulan ini, walaupun hanya beberapa, namun sosokmu telah melekat sangat dalam. Kamu berhasil membuatku lupa pada masa laluku, lupa bahwa aku pernah punya luka, dan aku lupa bahwa kita memang belum terikat status apa-apa. Kamulah yang terbaik, pikirku, dan aku tak peduli apa kata orang tentangmu. Yang jelas, aku mencintaimu, dan itu tak akan berubah meskipun wanita jalang itu mengaku bahwa kalian telah tiga bulan bersama, mengaku bahwa kaujuga memanggil dia dengan panggilan yang sama; panggilan yang kau berikan padaku juga.

Aku tidak peduli dan menutup telinga pada apapun yang membuatku sebenarnya tersiksa. Aku jatuh cinta padamu dan aku sangat mempercayaimu. Aku percaya kautidak akan menyakitiku karena aku masih yakin kamu adalah kamu, kamu yang kukenal, kamu yang tanpa topeng, dan kamu yang seutuhnya dirimu. Itulah caraku menilaimu, meskipun dunia melarang kita untuk bersama, tapi bagiku tak ada alasan untuk berhenti mempertahankanmu. Namun, mereka tetap menilaiku bodoh, tolol, tidak punya otak; benarkah memang aku yang melakukan kesalahan selama ini?

Sore tadi, puncak dari semua pertanyaanku terjawab sudah, suara beratmu cukup menjawab.


"Dek, aku di Polresta Depok." kamu mengawali pembicaraan diikuti dengan embusan napas berat.


"Ngapain di sana?" aku tidak panik, kujawab pernyataanmu dengan anggapan positif.


"Ganja. Satu linting."


Aku diam. Menghela napas. Menghela lagi. Sekali lagi. "Maksudnya? Kok, aku nggak tahu kamu selama ini...."


"Karena aku sayang sama kamu."


Aku terdiam mendengar jawabanmu. "Itu bukan jawaban, Tuan Kriminal."

Dan, kututup panggilan ponselku. Kuhapus nomormu dan aku menangis sekuat yang aku bisa. Rasanya tidak adil kalau aku mencintai orang yang sebenarnya tak pernah aku kenal. Rasanya tidak adil jika aku mencintai kamu yang kurasa sempurna, namun sebenarnya penuh dusta. Rasanya tak adil jika semua ini harus terjadi padaku sementara aku merasa telah sepenuh hati untuk melakukan banyak kebaikan untukmu. Rasanya ini tak adil jika pada akhirnya aku tahu; kamu tak pantas diperjuangkan sedalam itu.

Seharusnya dulu, kudengar ucapan sahabatku. Seharusnya dulu, tak perlu aku mengulurkan tangan ketika kau tawarkan perkenalan. Seharusnya memang, aku tak perlu sedalam ini mencintaimu.