^^

Bersabarlah, kau hanya sedang berada dalam fase mencintai seseorang yang salah, sehingga kau merasa terluka yang cukup melemahkanmu.

Lihat saja, ketika esok kau telah belajar dari kesalahan, kau akan menemukan fase dimana betapa baiknya Tuhan padamu, mengatur semuanya dengan sebegitu baik, ketika kau menemukan dia yang terbaik dari yang maha baik, untuk kamu yang belajar untuk menjadi lebih baik.

Kamis, 03 Desember 2015

Bisakah Kau bayangkan Rasanya jadi Aku?

Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk memendam.


Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi, pertama kali melihatmu; aku tahu suatu saat nanti kita bisa berada di status yang lebih spesial. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.



Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kaugubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kaurasakan. Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? Bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatu yang begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu lebih senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu? Apalagi yang kautunggu jika kausudah tahu bahwa aku mencintaimu?



Tuan, tak mungkin kautak tahu ada perasaan aneh di dadaku. Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kautak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.



Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna—kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.



Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa, meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.



Tuan, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.



Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu.



Setiap hari, setiap waktu, setiap aku melihatmu dengannya; aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan aku harus terus mencoba?



Sementara ini saja, aku tak kuat melihatmu menggenggam jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu yang begitu kucintai ternyata malah memilih pergi bersama yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti.



Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa salahku sehingga kita yang baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih?



Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kautahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.



Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, ketika kulihat kamu bersama kekasih barumu. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.



Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari harus melihatmu dengannya?



Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?


Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa..

Selasa, 01 Desember 2015

a n a l o g i || m e n u l i s

Jatuh cinta kadang seperti berimajinasi

Di kepala kau simpan rapi, didalam hati rasamu terkunci

Pada akhirnya, hanya kosonglah yang akan menyapa hari


Jatuh cinta kadang seperti menulis cerita

Kau berani biarkan jarimu merangkai kata, kau biarkan mulutmu ungkapkan rasa

Pada akhirnya yang namanya peluang patah hati akan tetap ada



Konsekuensi itu mutlak

Akan ada, pasti ada, harus ada


Kau diam atau melaju, konsekuensi ada didepan matamu

Pilihan akan terus menunggu, seperti setianya malam menunggu matahri redup

Pilihan akan terus mengikut, seperti setianya oksigen menemani hidup


Tanpa menulis imajinasimu miris

Tanpa ditulis dia hilang terkikis

Seperti diam-diam mencinta namun mendamba

Rasamu hanya akan berjalan di tempatnya semula


Dengan menulis gelisahmu kian menyapa

Pencera dimana-mana, plagiator merajalela

Seperti mencintai tanpa dihargai

Rasamu hanya akan berakhirdirelung energi

Minggu, 29 November 2015

Teka - Teki (?)

Hidup memang serba unik, serba penuh kejutan dan tak bisa diduga, menjalani hidup serasa menghadapi teka-teki atau puzzle, kau tak akan pernah bisa menebak garis hidupmu, apa yang akan kau lihat dan kau rasakan, senang dan sedih, tangis dan tawa, pertemuan dan perpisahan akan selalu mewarnai hari2-mu,.
Tidak perduli kau menolaknya juga tidak perduli kau berjuan untuk mendapatkannya, yang harus terjadi mesti harus terjadi, benar apa yang dikatakan : “Semua ada waktu untuk bersuka, ada waktu untuk berdiam dan ada waktu untuk berkata” ..
Kau tidak boleh menyalahkan TUHAN karena-nya, karena kau tak bisa menyelami pikirannya, pikirannya bukan pikiranmu, waktunya bukan waktumu, dan rencananya bukan rencanamu.
Hanya satu yang meski kau lakukan selalu : “setialah terus dan tetaplah percaya” semua yang kau alami baik suka maupun duka akan menjadi indah pada waktunya, jika penantian dan doa itu berujung kepedihan, kehilangan bahkan kematian..
hanya satu pula yang perlu kamu ketahui bahwa “TUHAN TAK AKAN PERNAH MENINGGALKANMU” .

Rabu, 25 November 2015

Cinta Butuh Waktu*

 "Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan." - Vierratale



           Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.

            Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.

            Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan, perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan, meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk pintu hatiku.

            Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai. Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.

            Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan.

            “Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih menulis sesuatu di kertas.

            “Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku menggambar.

            “Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kaulakukan?”

            Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan kami berdua.

            “Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya yang membesar.

            Kening pria itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”

            Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh disia-siakan.”

            Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas kepalaku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.

            Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”

            “Wanita itu lagi?” tanggapku dengan cepat.

            Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.

            “Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!”

            Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi.

            “Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak menyakitkan?”

            “Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.”

            Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?”

            Aku berhenti menggambar. Kuketuk-ketukkan pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”

            “Lantas, apa lagi?”

            “Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.

            “Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk juga soal cinta.”

            “Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu? Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”

            Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri.

            “Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”

            “Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”

            “Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”

            “Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu lambat kaurasakan.”

            “Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat serius, kali ini.

            “Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”

            “Begitu manisnya cinta....”

            “Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus saling membahagiakan.”

            Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir.

            Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya. Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.

            Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona, senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya yang indah. Hidungnya kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa Depan.

            Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan pria yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.

            Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.

            Aku belum berhasil seutuhnya.

            Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai bagian masa depanku.

            Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.

            Cinta memang butuh waktu.



*lagu Vierratale diciptakan oleh Kevin Aprilio

Kamis, 15 Oktober 2015

Dari Hati

Bagaimana mungkin kamu mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang tidak pernah kamu miliki ??
Kenapa tetes air mata jatuh demi seseorang yang tidak pernah jadi kepunyaanmu ???
Kenapa kamu mencintai seseorang yang cintanya tidak pernah untuk-Mu ??
Sekarang, ketika seseorang membangunkanku, sadarlah aku. bahwa selama ini aku hanya berjalan bersama bayang-bayang !!!

Rabu, 07 Oktober 2015

Untuk-Mu Pujaanku

Bagaimana caranya menjelaskan rindu kepada seseorang yang entah siapa dan dimana saat ini, 

untukmu yang jauh disana, terkadang mata ini iri kepada hati, karena kau ada dihatiku namun tak tampak dimataku.

 

Aku tidak memiliki alasan pasti mengapa sampai saat ini masih ingin menunggumu, meski kau tak pernah meminta untuk ditunggu dan diharapkan.

 

Hati ini meyakini bahwa kau ada, meski entah dibelahan bumi mana, yang aku tahu, kelak aku akan menyempurnakan hidupku denganmu, disini disisiku..

 

Maka, saat hatiku telah mengenal fitrahnya, aku akan berusaha mencintaimu dengan cara yang di cintaiNYA, sekalipun kita belum pernah bertemu mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama, Tersenyum mentapa rembulan yang sama.

Disanalah tatapanmu dan tatapanku bertemu :)

Selasa, 29 September 2015

KAMU TIDAK AKAN PERNAH TAHU

Malam ini, hampir semua orang Jakarta mengumpat kesal karena kecelakaan kereta di Stasiun Juanda. Kereta yang terguling hingga keluar rel itu menyebabkan kemacetan di mana-mana, menghasilkan umpatan di penjuru stasiun, dan aku ada dalam salah satu orang yang merasakan betapa Jakarta-ku tidak semenyenangkan Jogja-mu. Aku memilih untuk menaiki salah satu ojeg berbasis online untuk menuju Depok dari Stasiun Tebet menuju meeting ketiga hari ini. Mungkin, kamu tidak akan pernah tahu, di tengah semerawutnya duniaku-- aku masih punya waktu untuk merindukanmu.
Dengan sisa kekuatan yang aku punya, aku sampai di Margocity untuk melanjutkan meeting buku selanjutnya. Buku Mengais Masa Lalu segera terbit dan ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan penerbitku. Pening akibat flu masih terasa begitu menusuk, aku pulang dengan menaiki taksi, dan tak lagi punya kuasa untuk menggerakan tubuhku. Di sepanjang jalan, aku mendengar suara gema takbir, yang mengingatkanku pada riuhnya suara takbir di Jogjakarta. Aku ingin pulang dan lelah dengan semuanya. Meskipun aku selalu jatuh cinta pada pekerjaanku, tapi aku pun ingin tahu rasanya jatuh cinta dan tergila-gila pada seseorang sepertimu.

Sekarang, aku terbaring lemah di ranjangku, dan hanya bisa membaca ulang percakapan kita beberapa hari yang lalu. Mungkin, kamu tidak akan pernah tahu, di tengah kelelahanku sebenarnya aku masih membutuhkanmu. Kalau boleh jujur, aku sangat ingin ditenangkan oleh percakapan kita seperti beberapa hari yang lalu. Saat kamu menanyakan apa saja yang sudah aku makan, saat kamu menasehatiku banyak hal, saat kamu membuatku semakin merindukan Jogjakarta, saat kamu bercerita tentang pekerjaanmu hari ini, saat kamu selalu berhasil membuatku tertawa, dan saat kita masih dalam keadaan baik-baik saja.

Aku tidak berkata bahwa saat ini kita tidak baik-baik saja, tapi bisakah kau menjawab apa yang terjadi di antara dua orang; yang sekarang tidak lagi saling menyapa ketika beberapa hari yang lalu mereka masih bisa tertawa dan bercanda? Aku merindukanmu, merindukan percakapan kita hingga larut malam. Aku rindu diriku yang rela menunggumu hingga kamu selesai mengedit video dan pekerjaanmu. Aku rindu melihat ponselku hanya untuk membaca semua pesanmu. Aku rindu kebahagiaan kecil yang kau berikan padaku, kebahagiaan-kebahagiaan yang bahkan sulit untuk dijelaskan dan diartikan. Aku jelas jatuh cinta, sayangnya (mungkin) kamu tidak merasakan perasaan yang sama.

Beberapa hari ini, aku menepis dan melawan keinginanku sendiri untuk tidak lagi mencari tahu tentangmu. Karena bagaimanapun aku menangis, mengeluh, bercerita di dunia maya, atau apapun itu-- tidak akan membuatmu paham dan mengerti. Ada gadis yang diam-diam mencintaimu dan kamu ikut diam seribu bahasa seakan kamu tidak bisa membaca semua tanda. Maka, aku salah dalam segala, karena tidak berani mengungkapkan perasaanku, dan semua orang tentu menyalahkanku, menyalahkan keadaan, dan menyalahkan ketololanku karena rasanya terlalu cepat jika aku jatuh cinta padamu. Lalu, apa salahnya jatuh cinta pada orang yang baru kita kenali? Apakah aku berdosa karena mencintaimu meskipun perkenalan kita hanya sebatas chat?

Kamu tidak akan pernah tahu ini semua dan tidak akan pernah tahu betapa aku lemas melihat salah satu foto Instagram-mu dengan seorang perempuan. Uh, iya, aku tahu, Sonia-mu ini terlalu sering pakai perasaan. Aku paham bahwa aku bukan tipemu, astaga perempuan sepertiku yang gampang nangis ini tidak akan pernah cocok bersanding dengan pria sekuat kamu. Tidak akan pernah dan aku sangat sadar soal itu. Apalagi berhak cemburu? Aku tahu, aku tidak punya hak, tidak punya wewenang untuk mengaturmu berfoto dengan siapapun. Yang aku tahu, aku mencintaimu, dan biarlah ini menjadi rahasiaku, dan biarlah ini menjadi perasaan yang selamanya (mungkin) tidak akan pernah kautahu.

Jadi, biarkan Sonia-mu tetap jadi perempuan yang selalu diam. Karena dari semua diam itulah yang membuat dia bisa menghasilkan banyak tulisan. Jadi, aku akan terus diam, menatapmu dari jauh, mendoakanmu dari sini. Aku akan sukses dengan ceritaku. Kamu akan sukses dengan duniamu. Dan, dunia kita tidak akan pernah bertemu di satu titik meskipun sama-sama berjalan beriringan. Aku tahu, doa kita tidak akan pernah sama, aku mendoakanmu, kamu mendoakan entah. Tapi, percayalah, dari ribuan gadis yang memujamu, akan selalu ada aku yang berharap Tuhan selalu memelukmu dengan erat, seerat rinduku yang tidak pernah habis untukmu.

Aku ingin tertidur sambil mendengarkan lagu band-mu yang teriak-teriak itu. Berharap bisa teriak bersamamu, di Jogjakarta, di pantai manapun, asal sambil menggenggam jemarimu.




                                                                                                                                   Dari Sonia-mu,

                                                                                                            yang akan selalu diam-diam;

                                                                                                                                       mencintaimu.

Rabu, 26 Agustus 2015

Rasaku bukan Inginku

Selain mendoakanmu dan menitipkanmu kepada Tuhan, aku bisa apa????

menyalahkan waktu dan keadaan?

memaksakan kehendakku?

mengejarmu sampai ke ujung dunia?

atau menuntut Tuhan untuk mempersatukan kita?

TIDAK!!!

aku hanya ingin menyerahkan semua yang kurasakan dan yang terjadi kepada Tuhan. aku percaya jika
memang tuhan menakdirkan-mu untuk menjadi teman hidupku, dia pasti memberikan jalan untuk kita bersatu.

semoga sukses dan lancar buat semuanya,

aku hanya bisa mendoakanmu.
kelak jika kau di takdirkan bukan untukku, setidaknya aku pernah menyebutmu di setiap doaku.

cukup aku dan Tuhan-ku yang tau.

semoga kita bertemu di lain hari, mungkin ketika waktu dan keadaan sudah berubah. Aamiin :')

Kamis, 02 April 2015

Perpisahan???

"Ketika TUHAN mengambil seseorang yang kaucintai, maka TUHAN akan menggantinya dengan seseorang baru yang suatu saat akan lebih kau cinta."

Perpisahan selalu hadir disaat kita belum siap kehilangan seseorang. Saat kita masih sangat mencintai seseorang. Dan, saat kita masih membutuhkan orang itu dalam banyak hal. Kenyataan terburuk yang harus kita terima adalah orang yang kita cintai itu akan hilang, untuk sementara atau mungkin selamanya.

Pernahkah terpikir dalam benak kalian? Bahwa perpisahan adalah akibat dari sebuah pertemuan. Pertemuan yang terencana, yang telah disiapkan oleh Tuhan agar kita bertemu dengan seorang mahluk ciptaanNYA. Setiap pertemuan pasti menghasilkan rasa. Entah rasa tertarik, rasa benci, rasa mencintai, rasa ingin melindungi, termasuk rasa takut kehilangan. Kenyataan terburuk yang harus kita ketahui dari sebuah pertemuan adalah sesuatu yang tak kita duga, bahwa pertemuan sebenarnya adalah kata selamat tinggal yang belum terucapkan. Terkadang, mereka yang memutuskan untuk saling pisah adalah mereka yang masih saling jatuh cinta.

Perpisahan pasti dialami oleh setiap orang. Entah saya, kamu, kita, dan mereka. Saya pernah mengalami perpisahan dengan seseorang atau banyak orang yang saya cintai, kalian pun juga pasti pernah merasakan hal yang sama. Ketika perpisahan membuat suatu pribadi jatuh di titik terlemahnya, ketika perpisahan menjadikan seseorang tak mampu lagi untuk berdiri, hanya ada satu kata yang ingin kita ucapkan kepada dia yang telah pergi yaitu "KEMBALILAH!"

Yang belum pernah terpikirkan dari suatu perpisahan adalah akan ada sebuah pertemuan lagi yang akan menyadarkan kita, bahwa kehilangan adalah tanda kita segera menemukan. Menemukan hal baru yang belum pernah kita temukan. Bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita temui. Berkenalan dengan suatu pribadi yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Di luar sana, perpisahan didefinisikan dalam berbagai hal. Ada yang mendefinisikan bahwa perpisahan adalah akhir hidup dan ada juga yang mendefinisikan bahwa perpisahan adalah awal perjumpaan. Bagaimana dengan kalian? Apakah perpisahan masih menjadi alasan kita untuk menangis semalaman? Apakah perpisahan masih menjadi alasan kita untuk menutup diri dan menutup hati dari orang-orang baru yang berusaha masuk dalam hidup kita?

Bagaimanapun jawaban kalian, ketahuilah perpisahan itu sama seperti aksi reaksi. Terjadi lalu menyebabkan akibat. Perpisahan adalah bagian dari rencana Tuhan untuk membuat kita lebih dewasa. Percayalah, Tuhan melihat kita dari jarak yang tidak kita ketahui, dalam tanganNYA, DIA telah merancang rencana khusus untuk saya dan anda. DIA itu Maha Adil. Ketika DIA mengambil "emas" yang kita miliki, maka DIA akan menggantinya dengan "berlian". "Ketika DIA mengambil seseorang yang kaucintai, maka DIA akan menggantinya dengan seseorang baru yang suatu saat akan lebih kaucintai."

Senin, 23 Maret 2015

Kenapa Harus Kamu??

Kenapa harus kamu?
Yang menghadirkan tanda tanya dan bisu yang menyeringai santai
Kenapa harus kamu?
Yang tiba-tiba datang lalu menyelonong masuk ke dalam pintu hatiku
Apakah tak ada orang lain selain kamu?
Yang bisa membuatku jatuh cinta hingga merasakan luka

Aku masih tak tahu dan tak mengerti
Kenapa harus kamu?
Yang mengisyaratkan hati untuk menyimpan perasaan ini
Kenapa harus kamu?
Yang mampu memaksa otakku agar tak berhenti memikirkanmu

Kenapa harus kita?
Kenapa bukan mereka?
Kenapa aku bertanya?
Kenapa kautak pernah menjawab?
Kenapa kau tak pernah memberiku isyarat?

Aku telah melawan rasa takutku
Hanya untuk mencintaimu
Lalu, kenapa harus kamu?
Yang mampu mengubah rasa takutku menjadi sebuah keberanian kecil
Mengubah badanku yang menggigil menjadi senyum tipis walau secuil

Jangan biarkan aku terus bertanya, Sayang
Jangan biarkan aku terus mencari hal yang sebenarnya tak ada
Jangan biarkan aku terus merasakan perasaan yang sebenarnya tak kaurasakan
Jangan biarkan aku terus menunggu
Jangan biarkan waktuku terus terbuang
hanya karena kamu yang sulit kulupakan

Kenapa harus kamu?
Yang mampu membuatku melamun sepanjang waktu
Kenapa harus kamu?
Yang menjadi sebab air mataku terjatuh

Jakarta, 2403201513:24

Sepertinya Aku Mencintaimu

Awalnya, matamu dan senyummu tak berarti apa-apa bagiku. Sapa lembutmu, tutur katamu, bukan menjadi alasan senyumku setiap harinya. Semua mengalir begitu saja, kita tertawa bersama, kita menghabiskan waktu bersama, tanpa tahu bahwa cinta diam-diam menyergap dan menyeringai santai dibalik punggungmu dan punggungku. Kita saling bercanda, menertawakan diri sendiri, tanpa tahu bahwa rasa itu menelusup tanpa ragu dan mulai mengisi labirin-labirin hatimu dan hatiku yang telah lama tak diisi oleh seseorang yang spesial.
Tatapan matamu, mulai menjadi hal yang tak biasa di mataku. Caramu mengungkapkan pendapat, tak lagi menjadi hal yang kuhadapi dengan begitu santai. Renyah suara tawamu menghipnotis bibirku untuk melengkungkan senyum manis, menyambut lekuk bibirmu yang tersenyum saat menatapku. Aku tahu semua berubah menjadi begitu indah, sejak pembicaraan yang sederhana menjadi pembicaraan spesial yang begitu menyenangkan bagiku. Aku bertanya ragu, inikah kamu yang tiba-tiba mengubah segalanya jadi merah jambu?

Tanpa kusadari, namamu sering kuselipkan dalam baris-baris doa. Diam-diam aku senang menulis tentangmu, tersenyum tanpa sebab sambil terus menjentikkan jemariku. Tanpa kesengajaan, kauhadir dalam mimpiku, memelukku dengan erat dan hangat, sesuatu yang belum tentu kutemukan dalam dunia nyata saat aku terbangun nanti. Hari-hariku kini terisi oleh hadirmu, laju otakku kini tak mau berhenti memikirkanmu, aliran darahku menggelembungkan namamu dalam setiap tetes hemoglobinnya. Berlebihan kah? Bukankah mahluk Tuhan selalu bertingkah berlebihan ketika sedang jatuh cinta?

Saat menatap matamu, ada kata-kata yang sulit keluar dari bibirku. Saat mendengar sapa manjamu, tercipta rasa yang begitu lemah untuk kutunjukkan walaupun aku sedang berada bersamamu. Aku diam, saat menatap matamu apalagi mendengar suaramu. Aku membiarkan diriku jatuh dalam rindu yang mengekang dan membuatku sekarat. Aku membiarkan diriku tersiksa oleh angan yang kauciptakan dalam magisnya kehadiranmu. Astaga Tuhan, ciptaanMu yang satu ini membuatku pusing tujuh keliling!

Setiap malam, ketika dingin menyergap tubuhku, aku malah membayangkanmu, bagaimana jika kamu memelukku? Bagaimana jika ini? Bagimana jika itu? Ah, selain indah ternyata kamu juga pandai menganggu pikiran seseorang, sehingga otakku hanya berisi kamu, kamu, dan kamu dalam berbagai bentuk!

Sepertinya aku mencintaimu…


Pada setiap percakapan kecil yang berubah menjadi perhatian sederhana yang kauperlihatkan padaku.

Sepertinya aku mencintaimu…

Dengan kebisuan yang kausampaikan padaku. Kita hanya berbicara lewat tatapan mata, kita hanya saling mengungkapkan lewat sentuhan-sentuhan kecil.

Sepertinya aku mencintaimu…

Karena aku sering merindukanmu, karena aku bahkan tak tahu mengapa aku begitu menggilaimu

Sepertinya aku mencintaimu…

Kepada kamu, yang masih saja tak mengerti perasaanku.

Kamis, 05 Maret 2015

Seharusnya, aku tidak mencintaimu

Di kamarku yang sepi, sambil mendengarkan rintik hujan malam ini, aku hanya bisa diam dan merenung. Mungkin, aku perempuan paling tolol yang pernah ada, perempuan yang selalu mencintaimu tanpa banyak menuntut dan meminta. Ketika wanita jalang itu mengaku kekasihmu, aku hanya tersenyum sinis dan tertawa. Dalam pikiranku, dialah yang mendekatimu, dialah yang diam-diam masuk dalam hubungan kita, dan dialah yang memurahkan diri untuk melahap habis perhatianmu.

Saat mencintaimu, aku tak ingin percaya pendapat siapapun. Aku tak ingin percaya pada bisikan sahabatku bahwa kamu adalah rubah dengan wajah domba, serigala dengan tatapan kucing manja, dan kelalawar bertaring ompong. Ya, aku tak ingin percaya apa kata mereka, yang aku tahu; kamu mencintaiku dan aku sangat menggilaimu setulus hati.

Kamu menawarkan banyak mimpi padaku, sebagai perempuan yang masih meraba-raba apa itu cinta; aku tak menolak untuk masuk ke dalam dunia khayalmu. Kau tidak memaksaku masuk ke dalam hujan dan badai, kau sediakan pelangimu sendiri, pelangi kita, yang ternyata-- semu.

Aku ingat bagaimana pertemuan awal kita adalah pertemuan terbodoh yang pernah terjadi dalam hidupku. Kaudiam dan aku diam. Kau sebutkan nama dan aku memulai cerita. Kau suguhkan perkenalan dan aku menerima perkenalan itu dengan senyum bahagia. Bahagia. Karena aku sudah mencintaimu bahkan saat pertama kali kamu menyapaku lewat chat kita. Aku sudah memilihmu bahkan sebelum kita bertemu.

Aku ingat bagaimana saat jemarimu menggenggam erat jemariku. Bagaimana mata itu menatap mataku dengan tatapan rindu. Bagaimana senyummu berhasil membuat aku tak ingin jauh dari ponsel, karena tak ingin berhenti menatap fotomu. Bagaimana bibirmu yang selalu terlihat tertawa ketika bersamaku memaksa aku untuk terus menceritakan hal-hal lucu, agar sekali lagi bisa aku rasakan keteduhan yang tak bisa dijelaskan; dari percakapan bodoh kita yang terjalin semalaman.

Enam bulan ini, kamulah satu-satunya, meskipun kamu selalu menuduhku bersama pria yang lain. Beberapa bulan ini, walaupun hanya beberapa, namun sosokmu telah melekat sangat dalam. Kamu berhasil membuatku lupa pada masa laluku, lupa bahwa aku pernah punya luka, dan aku lupa bahwa kita memang belum terikat status apa-apa. Kamulah yang terbaik, pikirku, dan aku tak peduli apa kata orang tentangmu. Yang jelas, aku mencintaimu, dan itu tak akan berubah meskipun wanita jalang itu mengaku bahwa kalian telah tiga bulan bersama, mengaku bahwa kaujuga memanggil dia dengan panggilan yang sama; panggilan yang kau berikan padaku juga.

Aku tidak peduli dan menutup telinga pada apapun yang membuatku sebenarnya tersiksa. Aku jatuh cinta padamu dan aku sangat mempercayaimu. Aku percaya kautidak akan menyakitiku karena aku masih yakin kamu adalah kamu, kamu yang kukenal, kamu yang tanpa topeng, dan kamu yang seutuhnya dirimu. Itulah caraku menilaimu, meskipun dunia melarang kita untuk bersama, tapi bagiku tak ada alasan untuk berhenti mempertahankanmu. Namun, mereka tetap menilaiku bodoh, tolol, tidak punya otak; benarkah memang aku yang melakukan kesalahan selama ini?

Sore tadi, puncak dari semua pertanyaanku terjawab sudah, suara beratmu cukup menjawab.


"Dek, aku di Polresta Depok." kamu mengawali pembicaraan diikuti dengan embusan napas berat.


"Ngapain di sana?" aku tidak panik, kujawab pernyataanmu dengan anggapan positif.


"Ganja. Satu linting."


Aku diam. Menghela napas. Menghela lagi. Sekali lagi. "Maksudnya? Kok, aku nggak tahu kamu selama ini...."


"Karena aku sayang sama kamu."


Aku terdiam mendengar jawabanmu. "Itu bukan jawaban, Tuan Kriminal."

Dan, kututup panggilan ponselku. Kuhapus nomormu dan aku menangis sekuat yang aku bisa. Rasanya tidak adil kalau aku mencintai orang yang sebenarnya tak pernah aku kenal. Rasanya tidak adil jika aku mencintai kamu yang kurasa sempurna, namun sebenarnya penuh dusta. Rasanya tak adil jika semua ini harus terjadi padaku sementara aku merasa telah sepenuh hati untuk melakukan banyak kebaikan untukmu. Rasanya ini tak adil jika pada akhirnya aku tahu; kamu tak pantas diperjuangkan sedalam itu.

Seharusnya dulu, kudengar ucapan sahabatku. Seharusnya dulu, tak perlu aku mengulurkan tangan ketika kau tawarkan perkenalan. Seharusnya memang, aku tak perlu sedalam ini mencintaimu.

Senin, 23 Februari 2015

Aku Tak Minta Banyak Hal, Tuhan

Tuhan... selamat pagi, atau selamat siang, dan selamat malam. Aku tak tahu di surga sedang musim apa, penghujan atau kemaraukah?
Ataukah mungkin sekarang sedang turun salju? Pasti indah. Kalau boleh
berbincang sedikit, aku belum pernah melihat salju. Mungkin, kalau aku sudah
cukup dewasa dan sudah bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan bisa
menyaksikan salju, dengan mata kepalaku sendiri.

Aku tahu engkau tak pernah sibuk. Aku tahu engkau selalu
mendengar isi hatiku meskipun engkau tak segera memberi pukpuk di bahuku. Aku tak
perlu curiga padaMu, soal Kamu mendengar doaku atau tidak. Aku percaya
telingaMu selalu tersedia untuk siapapun yang percaya padaMu. Aku yakin
pelukanMu selalu terbuka bagi siapapun yang lelah pada dunia yang membuatnya
menggigil. Aku mengerti tanganMu selalu siap menyatukan kembali
kepingan-kepingan hati yang patah.

Masih tentang hal yang sama, Tuhan. Aku belum ingin ganti
topik. Tentang dia. Seseorang yang selalu kuperbicangkan sangat lama bersamaMu.
Seseorang yang selalu kusebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap
panjang denganMu.


Aku sudah tahu, perpisahan yang Kauciptakan adalah sesuatu
yang terbaik untukku. Aku mengerti kalau Kamu sudah mempersiapkan seseorang
yang jauh lebih baik darinya. Tapi... bukan berarti aku harus absen menyebut
namanya dalam doaku bukan?

Nah... kalau yang ini, aku juga sudah tahu. Dia sudah
menemukan penggantiku, entah lebih baik atau lebih buruk dariku. Atas alasan
apapun, aku harus turut bahagia mendengar berita itu, karena ia tak perlu
merayakan kesedihannya seperti yang aku lakukan beberapa hari terakhir ini. Seiring mendapatkan penggantiku, ia tak perlu merasa galau ataupun merasa
kehilangan. Sungguh... aku tak pernah ingin dia merasakan sakit seperti yang
kurasakan, Tuhan. Aku tak pernah tega melihat kecintaanku terluka seperti luka
yang belum juga kering di dadaku. Aku hanya ingin kebahagiaannya terjamin
olehMu, dengan atau tanpaku.

Tolong kali ini jangan tertawa, Tuhan. Aku tentu saja
menangis, dadaku sesak ketika tahu semua berlalu begitu cepat. Apalagi ketika
dia menemukan penggantiku hanya dalam hitung jam. Aku memang tak habis pikir.
Padahal, aku sedang menikmati perasaan bahagia yang meletup pelan-pelan itu.
Bukannya ingin berpikiran negatif, tapi ternyata setiap manusia punya topengnya
masing-masing. Ia berganti-ganti peran sesukanya. Sementara aku belum cukup
cerdas untuk mengerti wajah dan kenampakan aslinya. Aku hanya melihat segala
hal yang ia tunjukkan padaku, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ada dalam
hatinya.

Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Bagaimana
hubungannya dengan kekasih barunya. Aku tak terlalu ingin mengurusi hal itu.
Aku yakin dia pasti bahagia, karena begitu mudah mendapatkan penggantiku.

Aku percaya dia sedang dalam titik jatuh cinta setengah mati pada kekasih barunya,
dan tidak lagi membutuhkan aku dalam helaan napasnya. Permintaan yang sama
seperti kemarin, Tuhan. Jagalah kebahagiaannya untukku. Bahagiakan dia untukku.
Senyumnya adalah segalanya yang kuharapkan. Bahkan, aku rela menangis untuknya
agar ada lengkungan senyum di bibirnya. Aku ingin lakukan apapun untuknya,
tanpa melupakan rasa cintaku padaMu. Aku memang tak menyentuhnya. Tapi... dalam
jarak sejauh ini, aku bisa terus memeluknya dalam doa.

Pernah terpikir agar aku bisa terkena amnesia dan melupakan
segala sakit yang pernah kurasa. Agar aku tak pernah merasa kehilangan dan tak
perlu menangisi sebuah perpisahan. Rasanya hidup tak akan terlalu rumit jika
setiap orang mudah melupakan rasa sakit dan hanya mengingat rasa bahagia.
Namun... aku tahu hidup tak bisa seperti itu, Tuhan. Harus ada rasa sakit agar
kita tahu rasa bahagia. Tapi, bagiku rasa sakit yang terlalu sering bisa
membuat seseorang menikmati yang telah terjadi. Itu dalam persepsiku lho,
Tuhan. Kalau pendapatMu berbeda juga tak apa-apa.

Aku memang tak perlu meratap, karena sepertinya ia bahagia
bersama kekasih barunya. Ia pasti telah menemukan dunia baru yang indah dan
menyenangkan. Aku turut senang jika hal itu benar, kembali pada bagian awal,
Tuhan. Aku tak pernah ingin dia merasakan sakitnya perpisahan, seperti yang aku
rasakan.

Akhir percakapan, aku tidak minta agar dia segera putus dari
kekasihnya, atau hubungan mereka segera kandas di tengah jalan. Aku hanya minta
agar ia sembuh dari maag akutnya. Agar ia terhindar dari vertigo parahnya. Agar
muntah darahnya berhenti ketika tubuhnya kelelahan. Semoga kekasihnya mengerti
betul penyakitnya seperti aku mengerti rasa sakitnya.

Kembali pada bagian awal. Aku hanya ingin ia bahagia. Cukup.

Senin, 16 Februari 2015

Jika dari Awal Aku Tak Mengenalmu



Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu.

Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.

Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan.

Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya temanmu. Hanya temanmu. Temanmu!

Jika kauingin tahu, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu?

Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama bertemu, harusnya tak perlu kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tahu kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tahu rasanya meluruhkan air mata di pipi.

Iya. Aku bodoh. Puas?
 

Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautahu; di sini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu..

Minggu, 11 Januari 2015

Sepenggal kata

Bila waktu itu tiba, aku ingin pergi dalam tidurku yang begitu nyenyak.
aku hanya ingin kebahagiaan, aku tak mau melihat air mata yang menetes di jasadku ..
aku hanya ingin melihat orang2 tersenyum bukan bersedih atas kepergianku, karena aku tidak akan pernah tenang akan itu ..
jadilah kalian bunga2 yang mekar sepanjang hari untuk kuburku ..
dan tamatlah riwayatku pada saat itu ..
jika kalian merindukanku suatu saat nanti, ingatlah akan kebersamaan kita selama ini ,.
akan kenangan yang tak pernah terlupakan sampai kapanpun :)
doakan aku dan maafkan aku jika aku punya banyak salah yang mungkin disengaja ataupun tidak disengaja ..
semoga di kehidupan yang kedua kita bisa berkumpul bersama2 bahkan kita akan membuat cerita yang lebih indah dari ini ..

aku mencintai kalian :)